• Kisah Cinta Seorang Wanita Bernama Nisa #Part3

    ' rerrbinti Muhammad Ilyas dengan mas 
    kawin seperangkat alat sholat di bayar tunai. 


    Janur kuning yang terpancang di depan rumahku melambai-lambai tertiup angin, kursi dan meja yang di desain sedemikian cantiknya berderet rapi, tak ketinggalan dengan kursi pelaminan yang di rancang bak singgasana ratu dan raja. 

    Sedemikian mewahnya acara pernikahanku. Sungguh sangat bertolak belakang dengan keinginanku. Bukan seperti ini pernikahan yang aku harapkan. Untuk apa menghabiskan banyak uang hanya untuk membuat resepsi pernikahan. Terlalu mubadzir menurutku. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa semua sudah di rancang oleh orangtua calon suamiku meskipun sebelumnya oom dan tanteku pernah mengutarakan keberataannya akan hal itu.

    Waktu merambat begitu cepat, tiga bulan aku lewati tanpa terasa. Hari ini adalah moment yang bersejarah untukku. Hari di mana hijab Qabul di ikrarkan, aku akan terikat oleh perjanjian besar yang karena perjanjian itu Arasy Allah ikut bergetar. Sebentar lagi awal kehidupan baru akan di mulai, yaitu kehidupan dua insan manusia yang berbeda karakter dan pandangan di satukan dalam biduk rumah tangga.

    Dua minggu yang lalu keluarga dari Hamdan berkunjung kerumah ku. ini yang kedua kali aku melihat sosok yang bernama Hamdan. Semenjak acara pertunangan itu aku tidak pernah bertemu denganya. Kami hanya berkomunikasi lewat HP itu pun kalau ada hal-hal yang penting untuk di bicarakan.

    Hamdan adalah anak pertama dari keluarga pengusaha yang kaya raya, sebagai anak pertama apalagi anak lelaki satu-satunya menjadikan dia amat di sayang oleh orangtuanya apalagi ibunya. dia mempunyai adik perempuan yang se-umuran dengan ku namanya mawar, gadis yang sangat cantik menurutku.

    Suatu hari ketika aku sedang membantu tante beres-beres di dapur dia mengampiriku. Dia berbicara banyak tentang kehidupan abangnya. Menurutnya meskipun abangnya sangat di sayang sama ibunya tidak menjadikanya tumbuh menjadi lelaki yang manja. Dia amat mandiri dan penurut apapun yang dikatakan orangtuanya selalu di "iya" kannya selama itu baik untuk dirinya dan orang tuanya. Kekayaan yang dia miliki dan title yang berderet di belakang namanya juga tidak lantas membuatnya sombong. Rasa tenggang rasa dan tanggung jawabnya begitu besar. Dan semua itu di buktikannya dengan mendirikan sebuah panti asuhan untuk anak-anak jalanan.

    Iring-iringan pengantin sudah tiba, pak penghulu sudah lama menunggu. Dan para tetamu sudah mulai berdatangan,Aku pun sudah siap dengan gaun pengantin yang aku kenakan, sesaat ku pandangi wajahku di depan cermin. Ada airmata yang keluar dari bolamataku, aku tak tau kenapa hati ini seakan-akan belum ikhlas, rasa ragu masih menancap di relung hatiku, aku tidak yakin bisa bahagia dan aku juga tidak yakin bisa membahagiakan suamiku, apalagi benih-benih cinta untuknya belum tumbuh di hatiku. 

    "Aku terima nikah dan kawinnya Nisa syifa' juwairiyah binti Muhammad Ilyas dengan mas kawin seperangkat alat sholat di bayar tunai. 


    Ijab-Qabul telah di ucapkan, perjanjian telah di ikrarkan. Dua insan manusia telah disatukan. ucapaan do'a dan selamat aku dapatkan dari para tamu. Dari wajahku tak nampak keceriaan dan kebahagiaan. Hamdan yang saat ini duduk persis di sebelah ku lebih banyak diam dan hanya sekali-kali memandangku. Aku dengannya bagai orang asing yang baru kenal, tidak ada kata terucap, hanya senyuman yang bisa kami lakukan untuk para tamu sebagai tanda terimakasih dan rasa hormat kami kepada mereka. Banyak dari mereka yang mengatakan kalau kami adalah pasangan yang serasi, mereka tidak tahu isi hati kami saat ini.

    Kamar tidur yang begitu luas dengan ranjang sangat besar berhiaskan beraneka macam bunga di atasnya, disamping kanan kirinya terdapat meja kecil dengan ukiran yang sangat indah, di pojok kamar itu ada sebuah kamar mandi yang sangat mewah, "bak sebuah kamar ratu inggris" gerutuku dalam hati, aroma semerbak wangi dari bermacam-macam bunga itu membuat aku sedikit pusing, dari dulu aku emang paling tidak suka dengan bau-bauan yang tajam, sedang asyik mengamati kamar baruku terdengar bunyi pintu di buka.

    "Assalamu'alaikum Dek Nisa, maaf saya masuk tanpa mengetuk pintu, Dek Nisa Abang minta maaf jika pernikahan ini kesannya di paksakan, abang juga minta maaf bukan maksud abang menghancurkan masa depan Nisa, abang tau kalau Nisa tidak suka dengan pernikahan ini. Sebelumnya abang juga ragu dengan pernikahan ini, abang sudah terlanjur menyetujuinya dan abang tidak mau melihat orangtua abang kecewa dengan sikap abang." Ucapnya sambil ia berdiri tepat di belakangku, aku sendiri tidak berani memalingkan wajahku kebelakang, aku belum berani menatap wajahnya. Meskipun dia sekarang adalah seseorang yang halal untukku namun aku merasa asing dengannya.

    "Nisa, abang tak kan pernah memaksa untuk nisa mencintai abang, dan abang juga jika tidak akan memaksa Nisa untuk melakukan hubungan badan dengan abang. Abang tidak mau memperkosa istri abang sendiri. Untuk saat ini biarlah abang tidur di kamar sebelah. Jadi Nisa tak perlu cemas dan takut karena abang tidak akan pernah memaksa nisa, Untuk sekian kalinya abang minta maaf untuk semua ini." Lanjutnya. 

    Lagi-lagi aku masih belum berani memalingkan wajahku, aku masih dalam posisiku yang semula, sampai terdengar pintu kamar tertutup yang bertanda hamdan sudah meninggalkan kamar. Aku rasa begitu egoisnya diriku betapa angkuhnya diriku, tidak sopannya diriku padanya, padahal sekarang ini aku adalah istrinya yang mempunyai kewajiban untuk melayaninya, menghormatinya dan membahagiakannya, namun apa yang aku berbuat padanya sungguh bukan yang agama aku ajarkan. Namun mengapa saat ini egoku lebih tinggi. Aku lebih suka mendengarkan kata hawa nafsuku dari pada kata hatiku.

    Lanjut Ke #Part4
  • 0 komentar:

    Posting Komentar