Assalamu’alaikum Warrahmatullah, sahbat fillah, kali ini saya akan menshare sebuah tulisan yang cukup panjang berkenaan tentang kedudukan seorang perempuan didalam islam, yang kita semua tahu bahawa jaman sekarang dengan alasan persamaan gender, martabat perempuan justru sering terlecehkan. Padahal, dengan menempatkan perempuan pada posisinya, Islam memuliakan kaum Hawa.
Masalah perempuan selalu menarik. Sejak dulu perempuan menjadi isu yang harus diminati. Di satu sisi ada yang memandang perempuan seperti benda. Ia bisa dijual, diwariskan bahkan diperlakukan seenaknya. Di sisi lain ada yang menghendaki perempuan bebas dari semua belenggu. Kalangan ini menganggap perempuan sama dengan laki-laki dalam hal apa pun. Bahkan, fitrah dasar perempuan, seperti menikah, mengandung dan melahirkan sering dinaifkan.
Secara realita, pandangan ini dapat kita temukan dalam lembaran sejarah. Peradaban Mesir Kuno misalnya, menganggap perempuan sebagai “Pelengkap Penderita” dalam kehidupan masyarakat. Tak mengherankan kalau ada seorang raja yang memiliki puluhan gundik untuk memuaskan nafsunya. Bahkan, menurut Dr. Ali Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Al-Mar’ah Al-Muslimah Wal Fiqhud Da’wah Ilallah (Fiqih Dakwah Muslimah, Robbani Press, Mei 2003), banyak di antara raja Mesir yang menikahi saudara perempuannya sendiri atau bahkan putrinya sendiri demi pemenuhan nafsu seksualnya. Kisah tentang persembahan gadis cantik untuk sungai Nil dan penari perempuan di negeri Mesir tak asing lagi ditelinga kita. Semuanya menunjukkan betapa rendahnya kondisi perempuan di zaman peradaban Mesir Kuno.
Hal yang sama pernah terjadi juga di negeri Babylonia. Nasib kaum hawa tak jauh beda. Mereka dianggap harta yang bisa dijual belikan seenaknya. Menurut salah satu undang-undang Babylonia saat itu, jika seorang istri ditinggal pergi suaminya, ia bisa hidup dengan laki-laki lain sampai suaminya kembali. Praktik pelacuran adalah kebiasaan yang diwarisi di negeri Babylonia hingga dihapuskan sekitar tahun 250 SM.
Menurut peradaban India Kuno, perempuan tak punya hak sedikit pun untuk menentukan suami. Diantara mereka banyak yang menjadi pelayan Kuil. Mereka diwajibkan melayani para tokoh kuil yang dikenal dengan Dukun Brahmana. Peradaban India hanya membolehkan delapan macam perkawinan yang semuanya tak menjamin kehormatan perempuan.
Dalam pandangan peradaban Cina, seorang suami boleh menjual istrinya. Sang istri juga tak boleh makan bersama suaminya. Ia hanya diperkenankan makan dari sisa-sisa suaminya. Peradaban Cina Kuno juga membuat peraturan yang menempatkan perempuan sebagai pemuas nafsu laki-laki. Marco Polo, pemimpin ekspedisi Spanyol pernah menyaksikan segerombolan pelacur di Cina saat ia datang ke tempat itu. Pemerintah Cina memang sengaja “memelihara” mereka untuk dipersembahkan buat para tamu.
Ajaran Yahudi dan Nasrani pun menganggap perempuan sebagai sumber malapetaka. Menurut Bibel, perempuanlah yang membujuk Nabi Adam as untuk memakan buah terlarang di surga. Dari pemahaman ini perempuan dianggap penyebab pertama “malapetaka kemanusiaan”. Perempuanlah yang telah menyebabkan Adam dan keturunannya dikeluarkan dari surga. Padahal, seperti dipaparkan dalam Buku Qardhawi “Bicara Soal Perempuan” (Arasy, Maret 2003), bukan Hawa yang memengaruhi Adam, tapi iblis. Allah berfirman ,
“Kemudian Iblis membisikkan pikiran jahat kepadanya dengan berkata, ‘Wahai Adam, maukah engkau aku tunjukkan kepadamu pohon kebaikan dan kerajaan yang tak pernah binasa.’” (QS: Thaha: 120). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Lalu keduanya digelincirkan oleh Syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula,” QS: Al-Baqarah: 36.
Pada zaman jahiliyah, menjelang diutusnya Rasulullah saw, kedudukan perempuan tak kalah hinanya. Bangsa Arab kala itu sangat membenci anak perempuan. Mereka tak segan-segan menguburnya hidup-hidup. Allah mengecam perbuatan ini dengan firman-Nya,
“ Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.” QS: An-Nahl: 57.
Di sisi lain, perempuan sering dianggap mulia: disanjung dan dipuja. Dengan alasan Hak Asasi Manusia, perempuan diberikan kebebasan melakukan apa saja, termasuk memikat daya tarik laki-laki dengan menjadi bintang iklan. Dengan dalih emansipasi, perempuan diminta memberontak dari ajaran agamanya. Untuk mendukung ide emansipasi, fakta bahwa banyak kaum perempuan yang memiliki otak brilian seperti laki-laki. Mereka ingin menyejajarkan perempuan dan laki-laki pada satu tingkat dalam segala hal. Kodrat ilmiah perempuan diabaikan, bahkan kalau mungkin dialihkan pada laki-laki.
Seperti ditulis Maisar Yasin dalam “Perempuan Karir dalam Perbincangan”, di Amerika tempat yang dianggap lahirnya gerakan pembebasan perempuan, justru ditemukan fakta mengejutkan. Kendati jumlah perempuan bekerja meningkat, tapi pendapatan ekonomi mereka rata-rata menurun. Dua dari tiga orang dewasa yang miskin adalah perempuan. Tingkat upah pun ternyata tak berubah. Data tahun 1985 menunjukkan tingkat upah rata-rata perempuan di AS adalah 64% dari ringkat pria, sama dengan tahun 1939.
Masih menurut Maisar Yasin, kekerasan terhadap perempuan di negeri yang mengaku paling demokratis ini pun sangat tinggi. Perempuan mengalami tindak kekerasan di setiap delapan detik! Setiap jam sebanyak 78 anak gadis diperkosa. Data lain menyebutkan sekitar 13% atau 12,1 juta anak gadis Amerika sudah pernah diperkosa lebih dari satu kali. Yang lebih mengejutkan, enam dari sepuluh anak yang diperkosa (61%) belum mencapai usia 18 tahun. Ada 29% dari korban perkosaan rata-rata berumur 11 tahun, dan 32% dari mereka berumur antara 11 sampai 17 tahun.
Sedangkan di Jerman, menurut Abdullah Wakil dalam “Perempuan Karir Menurut Pandangan Islam”, setiap lima belas menit terjadi perkosaan terhadap perempuan. Jadi, menurut data kepolisian setempat, terdapat 35.000 perempuan yang diperkosa. Data riil di lapangan tentu lebih banyak.
Akibat sibuknya perempuan bekerja di luar rumah, sebuah penelitian yang pernah dimuat di Majalah Hezagen no. 5 1978, menyebut, pada 1967 di Inggris lebih dari 6000 anak menjadi pasien rumah sakit akibat korban pemukulan ibunya. Ada 20% dari mereka menemui ajal, selebihnya menderita cacat fisik dan mental.
Masih menurut majalah tersebut, Elly, seorang dokter yang sering terlibat dalam penelitian di bidang kesihatan anak mempertanyakan, “Apakah insting para ibu yang aktif diluar rumah itu telah berubah menjadi insting binatang buas?” Tentu saja tak. Keadaan lelah, serta pikiran kusut kerana tenaga telah terkuras seharian di tempat kerja itulah yang cenderung menyebabkan seorang ibu hilang kendali dan gampang berbuat kasar.
Islam menempatkan perempuan pada posisinya. Ia mengangkat derajat wanita dari lembah yang hina ke derajat mulia. Derajatnya tak berada di bawah laki-laki. Allah berfirman,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan ia orang yagn beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun,” QS: An-Nisaa’: 124.
Bahkan, dalam keadaan tertentu derajat perempuan bisa melebihi laki-laki. Buktinya, orang yang pertama kali menyambut seruan Islam adalah perempuan, istri Rasulullah saw, Khadijah. Orang yang pertama kali dinyatakan gugur di jalan Allah adalah perempuan, yaitu Sumayyah binti Khubath. Dalam sebuah hadits, ketika seorang laki-laki bertanya tentang siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik, Rasulullah saw menjawab, “Ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu.” HR. Muslim
Andai ada perlakuan syariat Islam yang sekilas seperti membedakan kaum perempuan, itu disebabkan karena dua jenis kelamin itu memang berbeda. Laki-laki dan perempuan diciptakan Allah dengan keistimewaan masing-masing, baik secara stuktur fisik maupun kejiwaan. Perbedaan itulah yang menyebabkan tugas mereka berbeda. Secara fisik, postur tubuh laki-laki lebih kasar dan kokoh. Sebaliknya, perempuan lebih halus dan lembut. Secara kejiwaan juga demikian. Perempuan lebih sulit mengendalikan emosi dan perasaannya lebih halus. Dalam keadaan tertentu perempuan mengalami kondisi yang tidak dialami laki-laki. Perempuan menyusui, melahirkan dan haidh. Semua itu tak terjadi pada laki-laki. Ini yang membuat sebagian syariat Islam membedakan keduanya.
Seandainya ada perlakuan syariat Islam yang menurut membedakan Islam yang menurut syariat nalar manusia yang terbatas perempuan, itu bisa dijelaskan. Islam tak pernah menzalimi perempuan. Misalnya, masalah warisan dalam Islam dilakukan dengan cara yang adil dan proposional. Dalam Surah An-Nisaa’ ayat 11 Allah menyatakan, bagian anak laki-laki dua kali dari bagian anak perempuan. Mengapa hal ini terjadi?
Ada perbedaan beban dan tanggungan antara anak laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan Islam, beban mereka berbeda. Anak laki-laki harus memberikan mahar pada perempuan yang akan dinikahinya. Ia juga mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah pada keluarganya. Sedangkan perempuan ketika menikah tak berkewajiban membayar apa pun, bahkan ia mendapat mahar. Ketika menikah pun ia tidak berkewajiban mencari nafkah untuk keluarganya.
Kalau beban perempuan dan laki-laki sama, maka Al-Qur’an tidak membedakan bagian warisan untuk kedua orang tua (ayah dan ibu) yang ditinggal oleh anaknya yang mempunyai keturunan. Dalam hal ini jatah laki-laki dan perempuan (ibu dan ayah) sama. Mereka sama-sama mendapatkan seperenam dari harta yang ditinggalkan - QS: An-Nisaa’: 11
Begitu juga bagi Kalalah, orang yang tidak mempunyai anak dan orangtua, dan hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki seibu atau seorang saudara perempuan seibu. Keduanya (laki-laki dan perempuan) sama-sama mendapatkan seperenam. - QS: An-Nisaa’: 12
Hal lain yang biasa di permasalahkan oleh kalangan penyeru feminisme adalah masalah jilbab. Mereka menganggap jilbab sebagai pakaian adat Arab, dan mewajibkan jilbab dianggap melanggar HAM karena membuat perempuan tidak bebas. Padahal, jilbab tidak menghalangi aktivitas Muslimah untuk bergerak. Bahkan, justru jilbab menjadi pelindung bagi para perempuan. Baik secara fisik maupun non fisik.
Demikianlah keadilan Islam. Adil bukan berarti sama, tapi menempatkan sesuatu pada posisi dan porsinya. Begitulah Islam. Ia menempatkan perempuan sesuai posisi dan fitrahnya. Dengan penempatan itulah, kaum Hawa mendapatkan kemuliaan. Allah yang menciptakan perempuan, dan Dia juga yang paling mengetahui bagaimana harus menempatkannya. Manusia tak berhak mengutak-atik ketentuan Allah
Semoga bermanfaat, wassalamu’alaikum warrahmatullah
Dikutip dari berbagai sumber
Vian Atzu
-----------------------------------
0 komentar:
Posting Komentar