Cerpen Karangan: Anindita Zahra
Pagi itu, Regina seorang gadis kecil bermata biru berambut pirang, terlihat
berpakaian rapi dengan parfum yang amat wangi. Ia telah dinanti Ayahnya di
depan pintu gerbang rumah sang Bunda. Iya, Ayah dan Bundanya tak bersama lagi,
namun mereka tetap berhubungan satu sama lain. Regina sangat bahagia sekali
walaupun keluarganya tak bersatu lagi namun ia disayang layaknya anak yang
masih punya keluarga yang sempurna.
Suatu hari, sang Bunda jatuh sakit dan terpaksa dibawa ke rumah sakit.
Bundanya terkena ledakan bom di kantornya yang menyebabkan luka bakar di
sekujur tubuh Bunda Regina. Regina yang mengetahui Bundanya sekarat itu tak
henti-hentinya menagis. Sang Ayah mencoba menenangkan dan menghibur Regina
dengan kasih sayang yang amat tulus, namun Regina tetap saja menangis walau tak
begitu sedu.
Setelah satu hari menunggu Bunda di luar, Regina dan Ayahnya diperbolehkan
dokter untuk masuk menjenguk Bunda tanpa harus bersuara berisik. Mereka masuk
ke dalam ruangan sambil berhati-hati untuk menjaga ketenangan. Mereka berdua
memanjatkan doa berharap seakan-akan sang Bunda siuman. Sang Ayah berpamitan
kepada Regina untuk ke luar sebentar mencari nasi untuk disantap sebagai makan
malam. Setelah sang Ayah pergi Regina berbisik lirih di telinga Bundanya.
“Bun, kenapa Bunda harus terbaring di sini, terbaring di tempat sempit dan
berbau obat ini? Kenapa Bunda harus masuk ke tempat yang tak selayaknya Bunda
masuki?”
Dengan raut wajah Regina yang begitu memelas, ia mulai meneteskan air mata
sedikit demi sedikit air mata itu membasahi pipi Regina yang manis itu. Ayah
datang membawa dua bungkus nasi kucing yang ia beli di depan rumah sakit,
Regina langsung mengelap air yang membasahi pipinya.
“Nih Ayah bawakan kamu nasi, gih dimakan kamu kan belum makan dari tadi,” bujuk Ayahnya.
Tapi Regina menjawab dengan pasti, “Tapi Bunda belum makan dari tadi,
Ayah nggak kasihan sama Bunda?”
“Bunda udah pakai infus sayang, jadi nggak perlu makan, lagi pula kalau
Bunda makan gimana caraya,” kata sang Ayah memperjelas.
Akhirnya dengan bujukan sang Ayah Regina mau menyantap makan malam dengan
nasi sederhana itu.
Suatu ketika, Regina harus masuk rawat inap mungkin karena terlalu lelah
menunggu sang Bunda siuman dari koma panjangnya.
“Hmm Ayah sedih kamu masuk ke sini,” kata Ayah sambil
mengelus kening Regina dengan lembut.
“Tapi di sini, di ruang ini Regina bisa merasakan terbaring lemah tak berdaya
walau tak selemah Bunda,” kata Regina kaku kepada Ayahnya.
“Tetapi tak begini juga caranya sayang,” kata sang Ayah menjelaskan.
Terlihat dokter sedang memanggil Ayah, Ayah pun mendekat berharap ada kabar
baik dari kesehatan Bunda Regina. Oh Ayah salah ternyata Bunda Regina bukanya
semakin membaik malah tambah kritis.
“Pak begini Bunda Regina semakin lama semakin kritis kemungkinan tanpa
mukzijat Tuhan, besok ia sudah tiada,” kata dokter terlihat ragu.
“Hah nggak mungkin dok, nggak mungkin, bagaimana jika Regina tahu kalau
Bundanya akan meninggal?” tanya Ayah ke dokter dengan bingung.
“Saya turut berduka cita saja pak, Bapak harus sabar dan tabah dengan semua
yang terjadi ini,” kata dokter sambil berlalu pergi.
“Rasanya hidup tiada artinya, gimana kalau Regina tahu, gimana kalau ia
tahu Bundanya akan segera tiada, bagaimana? mungkin aku harus berdoa dan
beribadah berharap Sang Pencipta memberi mukzijat.” kata Ayah dalam
hati dan berpamitan untuk ke musala seberang.
“Ya Allah Ya Tuhanku berikan kesembuhan kepada mantan isteriku dan anak
manisku berikan mukzijatmu. Ya Allah karena hanya Engkaulah yang bisa ku mintai
pertolongan,” doa Ayah dalam selesai salat.
Sekembalinya Ayah ke ruangan Regina dirawat, Regina sudah tiada, pergi ke
mana dia, setelah dicari ternyata dia sedang menangis di ruang IGD sang Bunda
dirawat.
“Oh Regina sayang mengapa kau menangis?” tanya Ayah kebingungan.
“Ayah tak usah bohong, aku tahu jika besok Bunda akan meninggal.”
“Siapa yang bilang sayang, itu semua salah.”
“Buktinya hp Ayah ada sms dari tante Tuti, kalau Bunda akan meninggal
besok,” bentak Regina.
“Itu kan hanya dokter yang memprediksi hanya yang di atas yang tahu.
Sudahlah sayang lebih baik kita berdoa saja berharap Bunda diberi kesembuhan,” kata Ayah dengan lembut.
Dengan kesungguhan dan pecaya Bunda kan sembuh, Regina selalu berdzikir,
berdoa, meminta pada Sang Kuasa agar sang Bunda bisa sembuh seketika. Selesai
berdoa Regina menangis dan berbisik lirih pada sang Bunda.
“Bun, kalau Bunda udah nggak kuat aku ikhlas Bunda harus pergi, tapi kalau
Bunda masih pengin hidup aku dan Ayah akan mencoba membantu Bunda.”
Tanpa memperhatikan Bundanya lagi Regina berlari dengan langkah yang
terpapah-papah karena belum pulih. Sang Ayah yang masih menunggu di IGD melihat
Bunda Regina meneteskan air mata, Ayah pun spontan senang dan memanggil dokter
untuk menanganinya.
“Sungguh luar biasa kuasa Tuhan ini aku tak menyangka bahwa ia secepat ini
pulihnya, kau sangat beruntung,” kata dokter kepada Ayah.
Terlihat kondisi Bunda yang semakin membaik, dokter memindahkannya ke ruang
rawat inap biasa tepat di samping aku berbaring. Huft Bunda secepat ini sembuh,
aku amat bahagia begitu juga Ayah.
Lima Minggu kemudian Bunda diperbolehkan pulang dan Ayah memutuskan untuk
rujukan lagi ma Bunda. Sebelumnya aku tak tahu mengapa Tuhan memberikan cobaan
seberat ini namun sekarang aku tahu Dia memberi cobaan ternyata untuk ini,
untuk kebahagiaanku. Tak sia-sia aku harus melawan badai kehidupan, tak sia-sia
aku menangis, tak sia-sia Bunda harus sakit-sakitan, tak sia-sia Ayah mencari
uang, hanya demi kesempurnaan sebuah keluarga kecil ini. Makasih Ya Allah.
------------
Apa Sahabat Suka Bikin Cerpen Juga?”
Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen
hasil karya sahabat ke kita ya!, caranya silakan lihat halaman yang sudah kita
sediakan disini.
Semoga Bermanfaat
Faida Annaila
0 komentar:
Posting Komentar