Assalamu’alaikum, Sahabat fillah Alhmdulillah wa syukurillah saya masih
bisa berbagi tulisan dengan sahabat semua. Diruang Manajemen Keluarga Rubrik
Parenting kali ini saya akan berbagi tulisan berupa sebuah cerita pendek untuk
para orang tua agar bisa mnegerti anak-anak, khususnya orang tua yang terlalu
sibuk dengan rutinitas sehari-hari.
Tanpa panjang lebar langsung saja kita sama-sama baca, renungkan dan ambil
ibrahnya
######
23:30, hampir tengah malam tiba-tiba pecah tangis si kecil yang
berusia 4 tahun. Dia menangis sejadi-jadinya. Ku belai keningnya, tangisnya
malah semakin pecah. Dia berguling kesana kemari. Sekali-kali mengejangkan
kaki. Kami tahu, dia terbangun karena ingin pipis. Ketika kami tanyakan, “mau
pipis?”. Dia menjawab tidak. Kami tahu yang sebenarnya. Berkali-kali kejadian
seperti ini terjadi, selalu berakhir dengan pipis di celana. Istriku langsung
menggendongnya dengan paksa. Dia berontak, tangisnya pecah sejadi-jadinya. Di
depan pintu toilet, si kecil berkata tidak mau dan meronta ingin melepaskan diri.
Kami tidak menyerah. Kubuka celananya dan istriku membawanya ke toilet. Werr…
baju istriku kena pipis. Dan pipislah anak kami sambil menangis. Istriku kesal?
Tentu saja.
Selesai pipis dan cebok, istriku berganti baju. Masih
menangis, kutawarkan celana pada si kecil. Dia menolak. Dia kemudian
melanjutkan tangisnya di tengah malam itu. Dia hentak-hentakkan kakinya ke
lantai. Dia garuk badannya. Wajahnya terlihat sangat kesal. Anda tahu, bahwa
sebetulnya hal ini juga terjadi siang tadi. Saya sangat marah waktu itu. Dia
jejakkan kaki pada ompolnya yang tergenang di lantai memercik kemana-mana. Dan
ketika saya tanyakan mau apa, tidak jelas dia mau apa. Seisi rumah
sudah tidak tahan. Bahkan kami kedua orang tuanya sendiri. Dan siang tadi dia
akhirnya berhasil takluk setelah ditawarkan permen kesukaannya. Tapi malam ini,
saya tidak marah. Saya sama sekali tidak boleh marah. Karena saya menangkap ada
suatu hal yang aneh terjadi. Di tengah malam itu, saat semua tetangga
sudah terlelap, saya duduk terdiam di pinggir toilet dan melihat anak saya yang
sedang menangis. Ya hanya melihat. Sambil berpikir apa yang terjadi pada anak
saya ini.
Beberapa kali saya tawarkan untuk memakai celana, dia tidak mau. Sampai
sempat saya berpikir, sudah saya tinggalkan saja dia sampai tangisnya selesai.
Tapi niat itu saya urungkan. Saya kemudian tanyakan, apa kemauannya. Dia
bilang, itu tulisan di whiteboard hapus. Di whiteboard tertulis nomor telp
tetangga kami yang biasa berjualan air galon. “Apa pentingnya itu harus dihapus?”,
pikir saya dalam hati. Tapi itu saya turuti. “Trus mau apa lagi?” Dia bilang
mau ganti celana. Tapi tidak mau celana yang kami tawarkan. Setelah itu kami
bawa ke lemari bajunya. Kami tawarkan satu persatu semua celana yang ada
disana. Tidak ada satupun yang dia mau. Kami jejerkan di lantai. Lalu
saya bilang “Ca, tidak ada lagi. Sok gapapa, kalau tidak mau pake celana, abi
tunggu disini.” Akhirnya menunjuk sebuah celana pendek yang kemudian saya
kenakan. Dia sendiri merasa tidak nyaman. Kemudian dia minta celana yang tadi
setelah cebok sudah ditawarkan istri saya.
Ternyata belum selesai tangisnya. Dia bilang mau keluar rumah. Anda bisa
bayangkan, tengah malam keluar rumah. “Mau ngapain sih, ga ada kerjaan amat”,
mungkin itu pikir kita. Tapi gapapa, itupun saya turuti. Kubawa jaket karena
dingin lalu kami berdua keluar pagar rumah. Apa yang dia lakukan? Diam. Hanya
diam. Di luar rumah yang gelap itu, dia hanya berdiri dan diam. Lalu
kutawarkan, “kita duduk saja yuk”, dia menyetujui.
Kami berdua kemudian duduk. Dia tidak berkata apa-apa. Sampai kemudian saya
tawarkan ide gila, “Ca, mau maen sepedah?”. Dia mengangguk. Saya tahu itu
adalah permainan favoritnya. Kutinggalkan di depan rumah yang gelap itu, lalu
ku ambil sepeda mininya di garasi belakang. Untuk seorang anak perempuan 4
tahun, sebenarnya saya agak heran juga kenapa dia tidak takut
ditinggalkan di depan rumah yang gelap. Dipegangnya sepeda itu. Aku menangkap
rasa ragu pada dirinya. Bagaimana tidak, siapa orang tua yang mau mengizinkan
anaknya sasapedahan di tengah malam. Tapi tidak, langsung aku
bilang “Sok Ca maen aja gapapa. Tuh sampai sana, yang jauh”. Segera dia naiki
sepeda itu dan melaju. Selesai satu putaran dia bilang haus, lalu
kutinggalkan lagi untuk mengambil air dari dapur dan kuajak istriku keluar
untuk melihat anaknya bermain sepeda di tengah malam.
Sekali lagi saya tawarkan ide gila, “Ca, kita balapan yuk. Kalau caca
menang, nanti dikasih susu ultra”. Oh tentunya dia sangat senang. Kami kemudian
bersiap siaga. “Satu dua tiga”, kami kemudian melaju. Tentunya aku atur
kecepatan agar si kecil pemenangnya. Dan setelah itu kami berikan ucapan
selamat dan pujian. Dia senang. “Ca mau maen lagi?”. Dia kemudian memacu lagi
sepeda mininya. itu pertanyaan yang sengaja saya ajukan supaya saya bisa
ngobrol dengan istri saya. Terus terang kami prihatin dan mencoba mencari
penyebab kenapa ini bisa terjadi.
Pada intinya adalah anak kami sedang caper (cari perhatian). Namun pada
tingkat yang agak parah. Ya kami maklum, karena kami berdua sibuk. Anak kami pada
hari kerja sering kali hanya berdua dengan pengasuh. Ya hanya berdua, di mana
pengasuh sendiri memiliki pola asuh yang sangat keras pada anak.
Anak sering kali dilarang ini dan itu. Tidak bisa kami salahkan, karena
masing-masing orang membawa pola yang sejak kecil dibawanya. Besok pagi, we
will have a family talk for sure. Dan yang jelas faktor utamanya adalah pada
kami sebagai orang tua. Investasi waktu, tenaga dan pikiran kami tidaklah
mencukupi.
######
Sahabat fillh, semoga saja ini tidak terjadi pada kita semuanya, karena anak adalah investasi orang tua yang paling berharga.
Wassalamu’laikum
Zaki Zamani ( Tim Manjemen Keluarga )
0 komentar:
Posting Komentar