• Wanita yang sudah menikah : Bekerja atau Mendidik anak

    Assalamu’alaikum , sahabat fillah siang ini saya akan membagikan sebuah tulisan di Rubrik manajemne cinta tentang seorang wanita yang sudah menikah,Salah satu tema perdebatan panjang terkait dunia keluarga adalah pilihan antara apakah istri harus di rumah saja mendidik anak atau boleh bekerja di luar ikut mencari penghasilan bersama suami.

    Klo kita lihat  gambar-narasi yang menunjukkan sepenggal percakapan. Dari isinya saya coba untuk menerjemahkan ke dalam realitas sosial rumah tangga dan juga mengambil hikmah :

    1.Setiap rumah tangga memiliki persoalan masing-masing, beberapa persoalan rumah tangga yang umum dan kerap terjadi terkait peran istri adalah;

    a. Persoalan ekonomi
    Banyak rumah tangga yang merasa berkekurangan mencukupi kebutuhan sehari hari kalau hanya suami saja yang mencari nafkah. Jadi memang mau tidak mau, suka tidak suka istri harus ikut bekerja membantu sang suami.

    b. Aktualisasi istri.
    Banyak istri yang lulus dari sekolah/perguruan tinggi butuh aktualiasasi. Mindset yang lahir dari contoh percakapan di bawa adalah “Gue lulusan Perguruan Tinggi (UI/ITB), masa cuman di rumah aja ngurus anak”, maka persepsi “beban sosial dan beban almamater” ini terus menguat di kalangan para ibu jika menemukan komunitas yang “senasib dan se-perasaan”

    c. Dorongan orang tua yang ingin anak nya tetap bekerja meski sudah berumah tangga (punya anak)

    d. Panggilan tugas berkontribusi untuk ummat.
    Banyak pos-pos di dalam struktur sosial yang sangat membutuhkan peran wanita : Dokter kandungan, perawat, Guru pesantren perempuan, guru sekolah perempuan, atau dosen dari universitas perempuan.

    e. Istri cukup mengurus anak di rumah
    atau sesekali ikut acara sosial di masyarakat, karena secara ekonomi berkecukupan (let say nge-pas sederhana) memenuhi kebutuhan sehari-sehari, peran mencari nafkah adalah central dari suami. Kalaupun istri ikut mencari penghasilan tetap di rumah, mengatur bisnis entah via online atau me-remote pos-pos usaha nya.

    Dari 5 point ini, saya coba collaborate dalam sebuah rumusan : mungkin ada yang teramat mendesak plus darurat bagi seorang istri untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya atau karena demi memenuhi kemaslahatan ummat (guru/dosen,dokter/perawat) di pos pos struktur masyarakat yang membutuhkan peran wanita, Sehingga ‘terpaksa’ menitipkan anaknya diasuh oleh orang lain, either dititipkan kepada oleh pembantu, tetangga, atau orang tua. 

    Di sinilah problema dan dilemanya. Jika yang mengasuh adalah pembantu, banyak kasus pembantu (yang mayoritas tidak sekolah, atau cukup lulusan SD) tidak cukup dalam mendidik anak di rumah. Kurang lebih 8-10 jam anak di titipkan ke pembantu selama 5 hari kerja. Selama bisa jadi hingga bertahun-tahun, maka sangat mungkin sedikit-banyak character building anak nya di cetak oleh sang pembantu. Jika yang mengasuh orang tua (kakek nenek), seringkali orang tua sudah kecapean dan kepayahan karena faktor usia, dan ini sungguh disayangkan bila opsi ini harus dipilih, karena orang tua bukan tempat penitipan anak.

    Harus ada penyeleksian yang ketat kepada pihak pihak yang patut dan layak untuk dititipkan anak kalau memang opsi seorang istri (sebagai ibu) harus juga bekerja seperti menyeleksi karyawan terbaik di sebuah perusahaan, ya dari pendidikannya, ya dari agamanya juga. Kalau mau yang terbaik, harus juga mengerahkan ikhtiar yang terbaik juga. Jangan sampai penyesalan di kemdian hari kalau-kalau ada pembantu yang kedapatan “membanting-banting” bayi nya melalui rekaman CCTV di rumah. 

    2. Tak perlu menjatuhkan ‘image‘ seorang ibu rumah tangga yang pure, totally, mengasuh anak-anaknya di rumah, even beliau lulusan dari Perguruan Tinggi,
    Karena secara hakikat nya itulah tugas utama (paling prioritas) seorang wanita yang telah menjadi seorang istri sekaligus sebagai ibu : Menjaga harta dan kehormatan keluarga di rumah dan mendidik anak-anak nya dalam rangka ikut mencetak Generasi Rabbani, semakin berkualitas seorang ibu, maka semakin berkualitas pula didikannya kepada anak-anaknya. 
    “Tidak ada yang lebih baik di dunia ini bagi seorang muslim setelah menyembah Allah, selain mendapatkan istri yang shalehah, cantik apabila dipandang, patuh apabila diperintah, memenuhi sumpah pernikahan, menjaga dirinya dan kekayaan suami di saat suami pergi, mengasuh anak-anaknya, tidak membiarkan orang lain masuk ke rumah tanpa ijin suami, dan tidak menolak apabila suami memanggil ke tempat tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
    Di Hadits lain tentang tugas istri dalam mengasuh (mendidik) anak :
    Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Yang terbaik diantara para perempuan adalah yang mengasihi, mengasuh anak, supportif dan patuh, dan yang terburuk diantara perempuan adalah yang suka mengenakan perhiasan dan egois, dan masuk surganya tidak lebih mungkin dari seekor gagak putih”. (HR. Bukhari dan Muslim). 
    Gagak berwarna putih, tidak seperti yang berwarna hitam, sekalipun ada tapi sangat jarang muncul di alam; sama jarangnya dengan kemungkinan perempuan sombong yang suka mengenakan perhiasan untuk bisa masuk surga.

    Apapun pilihannya, musyawarahkanlah dengan suami pilihan yang terbaik bagi seorang istri dengan mempertimbangkan point-point kemaslahatan dan kemudharatan nya demi meraih Ridha Nya.Wallahu ta’ala a’lam 

    Semoga memberi pencerahan dan bermamfaat untuk kita semua, mohon maaf. Wassalamu’alaikum

    Admin Manajement Cinta


  • 0 komentar:

    Posting Komentar