“Perbanyaklah
mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!” (HR.
Tirmidzi)
Assalamu’alaikum warrahmatullah,, sahabat fillah, Berbahagialah
hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti
guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup,
bahkan mengawasi alur kehidupan agar tak lari menyimpang. Nilai-nilai pelajaran
yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan
menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan
lakukan
Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga Tak ada sesuatu
pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu
selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di
dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan
menjemputnya. Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia
sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Kerana tak ada satu detik
pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat.
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya) .Q.S Al-Anbiya : 1
Ketika jatah waktu terhamburkan
sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan,
“Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat
dan mengejar ketinggalan.” Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan,
kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.
“Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: ‘Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul. Q.S Ibrahim : 44,
Adapun beberapa nasihat yang bisa kita ambil dalam sebuah kematian
1. Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan
dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan
siapa pun peran yang telahdimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’, usai
sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya. Lalu, masih kurang
patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya
menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah
berakhir.
Sebagus-bagusnya peran yang kita
mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat
peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang
miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya.
Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang
sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran. Teramat naif kalau ada
manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan
berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan
terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu
semua adalah kematian.
2. Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Siapa pun dia. Kaya atau miskin.
Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan
kain kafan. Cuma kain kafan itu. Itu pun masih bagus. Kerana, kita terlahir
dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang. Lalu, masih
layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan.
Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita
datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak
berharga.
Ternyata, semua hanya peran. Dan
pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali
kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa
kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah
itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.
3. Kematian mengingatkan bahwa hidup
sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang
menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup
selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak
satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.Ketika
sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian
berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahawa, segalanya
akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari
siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.
4. Kematian mengingatkan bahwa hidup
begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat
kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak
ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan
ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh.
Petani itu khawatir, ia tak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia. Q.S Al-Qashash : 77
Dengan menyebut Dunia adalah ladang buat akhirat orang takkan melewatkan
sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian
menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita
sedang menghargai arti kehidupan.Allahu ‘alam
Semoga Bermamfaat
vian-atzu.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar