Perlahan sekali Mia masuk ke rumah lewat pintu garasi. Perlahan pula
dibukanya pintu samping ruang tamu. Ia berjingkat-jingkat menuju kamarnya….
“Mia!” Deg! Suara Mama! “Mia, keterlaluan kamu! Kenapa kamu pakai lagi hijab
sialan itu! Kenapaaa? Belum puas kamu kemarin, ya!? Berani sekali kamu sama
Mama! Mama kandung-mu! Dasar anak durhakaaaaaaaaa!” tangan Mama, wanita
setengah baya itu, sibuk memukuli Mia. Kemudian tangannya yang lain bergerak merenggut Hijab Mia…
“A…duh…Astaghfirullah,” seru Mia lemah. Dagu dan sebagian lehernya ber-darah
terkena goresan peniti. “Bi Nuuung? Bi Nuuuuuuuuunggg!!” “III…ya, Nyah!” suara
Bi Nung, pem-bantu rumah tangga mereka. “Bakar semua Hijab dan
pakaian panjangnya!” Mia tersentak! “mama, maaf, tapi Mama tak punya hak
melakukan hal itu…, itu Mia dapat dari teman-teman Mia…” “Bakar, Bi! Bakar!”
“Ttttapi… Nyah…” Langkah kaki Mama menghentak-hentak menuju kamar Mia. Dengan
kasar wanita itu mengobrak-abrik lemari pakaian putri satu-satunya itu. Baju
panjang, rok panjang, gamis, hijab, kaos kaki panjang, semua tak ada yang
luput! “Bakar, Bi!” “Ja…jangan, Ma! Maaa…, jangan!” Mata Bi Nung memerah.
Sebentar lagi airmatanya akan menetes. “Baik aku yang akan bakar sendiri!”
teriak Mama kasar. Jam empat sore. Baju, rok panjang, gamis, hijab dan
kaos kaki Mia sudah jadi abu di halaman belakang.
Awalnya tiga bulan yang lalu, Mia dan teman-temannya mengikuti pengajian
bulanan yang diadakan oleh Rohis SMA-nya. Waktu itu Mia terkesan sekali dengan
apa yang diadakan oleh Pak Jayid, guru agama Islam mereka yang baru itu. Pak
Jayid banyak membahas soal dan problematika remaja Islam masa kini dan
pemecahannya.
Dan… tiba-tiba saja Mia merasa semua itu menyindir dan menyentil-nya. Begitu
dalam. “Konsep wanita shalihat itu… masya Allah…,” kata Pak Jayid. “Ia adalah
seorang wanita yang mampu membawa kemaslahatan, berdayaguna bagi dirinya
sendiri, bagi keluarganya, bagi masyarakat dan ummatnya! Wanita yang diridhoi
oleh Allah! Allah dan Rasulullah adalah kekasih sejati baginya.” Dan… entah
mengapa Mia merasa…, selama ini ia tak berdayaguna bagi dirinya sendiri.
Apalagi orang lain. Ia bukan larut dalam kebaikan, tetapi dalam kesia-siaan!
Kesemuan semata. Bahkan menjaga dirinya dari amarah Allah pun ia tak mampu…
bukan hanya tak mampu, namun juga tak pernah berusaha untuk itu!
Dan ketika di akhir pengajian Pak Jayid menanyakan siapa saja yang ingin menjadi
pria shalih dan wanita shalihah, serta-merta Mia berteriak, “saya, Pak! Do’ain
saya, Pak!” Yang berteriak memang Cuma Mia. Kemudian sepi. “Aamiiin, terdengar
suara ramah Pak Jayid dari balik hijab mushalla, diikuti cekikikan teman-teman
Mia yang lelaki dan perempuan. “Gue sungguh-sungguh, In! Gue sungguh-sungguh,
Neng! Do’ain gue! Dosa lu pada ngetawain orang yang mau tobat!” Teman-teman Mia
tambah ngakak. “Hus, kok abis ngaji masih kumat, sih?!” kata Via, teman sekelas
Mia yang baru dua bulan ini ber-hijab.
Seminggu setelah itu Mia mantap mengenakan busana muslimah. Rapi sekali. Nggak
Cuma orang rumah atau sesekolah yang geger! Sekampung bingung! Bayangin…, Mia?
Mia Prasanti, wakil ketua OSIS es em a 111, pemimpin paduan suara
dan "dance club" di SMA-nya itu ber-hijab? Mia yang manis
dan imut-imut, orator berat, yang selalu rangking I sejurusan Fis, kesayangan
guru-guru yang dijuluki “bintang segala bintang” di sma-nya itu? Mia, yang
langganan ngewakilin sekolah dalam berbagai lomba tingkat es em a, satu-satunya
cewek yang berhasil merebut hati Andika, idola di SMA 111 itu…? Mia…? Ya, Mia
sudah sangat mantap.
Ia tak ingin hidayah yang sudah dirasakan menghujam dalam, tercabut lagi dari
hatinya hanya karena ia menunda me-lakukan sesuatu hal yang jelas-jelas membawa
kebaikan. Perintah Allah! “Mama tak setuju kamu pakai pakaian seperti orang
kampung atau orang-orang tua. Mama tak dan tak akan pernah setuju!” kata Mama,
dua hari sebelum Mia memutuskan ber-hijab “Ini bukan pakaian seperti itu,
Ma. ini pakaian seorang muslimah,” jawab Mia lembut. “Banyak hajjah nggak pakai hijab,
Mama juga nggak… apa mereka bukan muslimah? Apa Mama bukan orang Islam…!?”
“Bukan begitu, Ma… Mia Cuma ingin…” “Mama tak peduli, Mia. Pokoknya
Mama tak mau anak Mama kelihatan aneh. Apa kata orang lain melihat
kamu tertutup seperti itu,” kata Mama, kali ini lembut sambil membelai rambut
Mia. “Rambut kamu bagus sekali, Mia…, sadari itu.” “Justru kerana Mia sadari
itu, Ma…!” ajuk Mia. “Udah, tak usah dibicarakan lagi. Menurut Mama,
yang penting kita berbuat baik selama hidup di dunia ini.
Cukup. hijab itu tak penting, buat apa ber-hijab kalau hati
berkudis. Kan munafik nama-nya.” “Tapi hijab itu perintah Allah, Ma!
Dan sebagai seorang Muslimah yang baik, kita harus menyesuaikan diri dengan hijab kita,”
jawab Mia. “Udahlah, Mama mau pergi latihan aerobik. Eh, mau ikut tak?
Banyak yang sudah kangen sama kamu. Udah jangan punya pikiran macam-macam ya,
Yang.” Mama mengecup kedua pipi Mia dan berlalu. “Bi Nuuuuung, kalau Tuan
pulang, bilang suruh makan malam duluan, jangan tungguin saya!” pesan Mama di
antara deru Kijang-nya.
Hari itu juga, di meja makan Mia bicara pada Papa. “hijab?Tak! Kamu anak
Papi, kalau anak ustadz, lain masalah,” kata beliau. “Kalau tetap mau
pakai juga gimana, Pa?” Papa menghentikan makannya dan memandang Mia tajam
“Kalau dilarang, itu tandanya Papa masih sayang. Jangan malu-maluin Papa.
Bagaimana nanti dengan masa depan kamu, mau kerja dimana? Pesantren? Mau nikah
sama siapa? Guru ngaji yang di kampung-kampung?” “Papa kok sinis gitu…, banyak
kok muslimah ber-hijab jadi usahawati, nikah dengan insinyur atau dokter…
Kan semua ditangan Allah. Nikah dengan guru ngaji di kampung, bagi Mia tak
apa, yang penting dia bisa ngajak ke syurga…” Kamu ngomong apa sih, Mia? Papa tak
suka dengernya!” kata Papa setengah membentak. Tapi tekad Mia sudah bulat. Ia
harus ber-hijab.
Akhirnya ia pun pergi ke toko busana muslimah dan membeli beberapa stel pakaian
muslimah, lengkap beserta hijab dan kaos kaki. Ia rela ngabisin uang
jajannya sebulan untuk itu. “Hari pertama ber-hijab, pagi-pagi sekali ia sudah
rapi. Via datang membantu Mia mengenakan Hijab. Mereka pergi ke sekolah
dengan leluasa. Cuma Bi Nunung yang tahu. Papa ada acara di luar kota dan Mama
belum bangun tidur. Siangnya ketika pulang sekolah, Mia masuk rumah dengan
mengendap-ngendap. Di garasi, ia langsung membuka hijab-nya dan memasukkan
kain putih itu ke dalam tasnya. Aman. Lagi pula siang-siang begitu biasanya
Mama masih di kantor beliau. Seminggu Mia ber-hijab dan orang rumah yang
tahu Cuma Bi Nung. “Bagaimana kursus modelling kamu, Mia? Tanya Mama suatu hari.
“Kok Mbak Soraya nanyain kamu ke Mama. Sudah hampir sebulan kamu nggak hadir.”
“Mau berhenti aja, Ma,” jawab Mia enteng. “Apa?” Mama terkejut. “Dulu kamu yang
memaksa masuk!” “Mia sudah kelas tiga, Ma. Banyak tugas sekolah,” elaknya.
Tapi hari berikutnya, ketika ia dengan santainya pulang ke rumah kerana tak
melihat mobil Mama di garasi…, Mia benar-benar terkejut! Mama dengan mata
melotot memandangnya dari sofa ruang tamu. “Assalaamu’alaikum,” sapanya. Mama
diam. “Darimana kamu? Pengajian?” “Dari sekolah, Ma.” “Buka hijab kamu!
Bukaaaaaaaaa!!! sekarang juga anak durhaka! tak tahu disayang!!” bentak
Mama tiba-tiba. “Ma, maafin Mia…, Mia sayang Mama, tapi Mia harus ngikutin
perintah Allah…,” air mata Mia mengalir. “Kamu…ka…mu…,” Mama melotot sambil
memegangi dadanya, kemudian… pingsan! “Ni Nung! Bibiiiii!!! Mama, Biiii!” seru
Mia panik. “Mamamu kena serangan jantung,” kata Dokter Rita. “Ia
terkejut, shock! Apa yang mengejutkannya?” Mia menggeleng, “Entah Dok, mungkin
Mama shock lihat ini,” kata Mia sedih sambil memegang hijab-nya. Dokter
Rita mengernyitkan dahi dan tersenyum. “Jaga Mamamu baik-baik,” kata dokter
keluarganya itu.
Malamnya Papa marah-marah dan menggunting-gunting dua hijab yang
tergantung di belakang pintu kamar Mia. Suaranya menggelegar! Keras sekali! Mia
betul-betul takut. Esoknya pagi-pagi sekali sebelum Mama dan Papa bangung, Mia
sudah ke sekolah. Dengan derai airmata, ia menceritakan semua pada Via. Apa aku
lepas saja jilbab ini untuk selama-lamanya, Via? Aku tak tahan disebut anak
durhaka…,” suara Mia lirih. “Istiqomah, Mia… Tegarlah! Sabar! Bertahan!” kata
Via mengokohkan hatinya. “Ini cobaan, saudaraku!” kata Via sambil menyerahkan
sebuah bungkusan besar. “hijab dan baju dari teman-teman…”
Kemarin Papa memukulnya! Hal yang paling jarang Papa lakukan. Papa menamparnya
berkali-kali hanya kerana melihat ia pulang sore dengan hijab-nya.
Waktu itu ia memang habis ikut mentoring agama Islam di sekolah. Sungguh, ia
tak menyangka kalau Papa pulang cepat. Kemarin itu bahkan Papa sudah menuang-kan
minyak tanah ke atas hijab putihnya! Ia hanya bisa beristighfar
berulangkali dan dan menangis. Bi Nung teriak-teriak,sedang Mama hanya
memandang sambil me-megangi dadanya! Habis maghrib, Mama masuk ke dalam
kamarnya. Mencoba untuk bicara baik-baik. “Kamu minta apa saja Mama turuti,
asal kamu jangan ber-hijab seperti orang kampung! Apa saja! Mama bahkan
berpikir untuk sekolahin kamu ke Harvard. Kalau perlu besok juga Mama belikan
kamu mobil, supaya kalau ke lintas Melawai, kamu punya mobil sendiri. Nggak nebeng.”
“Mia tak perlu itu semua, Ma. Mia … Cuma ingin lebih dekat sama Allah,”
suara Mia pelan. “Yang penting kita bertaqwa, Mia.” Kata Mama. “Hijab adalah
realisasi taqwa, Ma…” “Buang Hijab-Hijab itu, ya…” Mia cuma diam.
Malamnya itu Mia shalat malam. Ia berdoa agar Allah membuka hati Mama dan Papa,
dan semua orang Islam… agar mereka lapang menerima apa yang telah ditetapkan
Allah atau minimal tak menghalangi mereka yang ingin melaksana-kan
ketetapan Allah. Dan hari ini semuanya sudah dibakar Mama. Mama memergokinya
mengenakan busana muslimah lagi. “Mbok ya nurut aja sama orangtua toh neng.
Ridha Allah itu khan tergantung ridha orangtua. Apalagi Neng orang kota, orang
modern, pantesnya ya seperti dulu,” kata Bi Nung. “Kita hanya taat kepada orang
tua selama mereka tak menuruti hawa nafsunya dan tak menentang Allah, Bi…” “Iyo
yo, Neng.” “Itu kata Al-Qur’an, Bi…” “Neng, badan Neng yang biru dan
bengkak-bengkak itu Bibi olesin minyak, ya!” Mia mengangguk. Titik airmatanya
jatuh. Hanya setitik.
Besoknya badan Mia tiba-tiba menggigil. Ia demam. Dan itu juga jadi alasan
bagus dia buat tak sekolah (kerana ia benar-benar tak punya baju
panjang dan hijab buat ke sekolah). Mama dan Papa tak pergi ke
mana-mana. Mereka mengawasi Mia. Dokter Rita datang, menurut beliau Mia hanya
demam biasa. Siangnya, Mia mendengar suara Andika di ruang tamu. Mau apa si
Dika datang kemari? Kan udah putus” pikir Mia. Deg! Tiba-tiba saja Mia takut.
Dika disuruh Mama Papa untuk melihat keadaannya yang terbaring di kamar ini atau
dia yang disuruh menemui si ‘Pierce Brosnan’ itu! Jujur, Mia kangen…, tapi…
astaghfirullah, Mia beristighfar. Seharusnya Mia tak boleh mikirin itu
lagi. “Masuk aja ke dalam yuk. Om temani” Deg! “Nggak usah,Om, salam aja
buat Mia,” “Salam sayang?” suara Mama. “Salam Islam, tante, alias
assalaa-mu’alaikum, sama salam jihad selamanya! Permisi Tante.” Mia tertawa di
kamar. Alhamdulillah, berarti Kamal si ketua OSIS dan Yayan si ketua Rohis
berhasil mengajak Dika ikut mentoring! Tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari
balik jendela… “Ssst…,Mia… Mia… Sssst!” Mia membuka jendela kamarnya.
Subhanallah! Via dan Linda! “Baju dan hijab alakadarnya. Thanks to
Andika yang udah bikin sibuk Mama dan Papa kamu. Udah ya, istiqomah!” Mia
tersenyum, tersentuh. Ia bangkit dari tempat tidur dan menyimpan rapi semua
pemberian teman-temannya itu.
Mia masih demam. Tapi pagi-pagi buta ia sudah berangkat ke rumah Via dan
rencananya langsung ke sekolah. Bi Nung yang tahu ketakutan. “Neng, ati-ati…
Aduh, Bibi takut ketahuan!” “Doakan saja saya, Bi. Siang nanti in syaa’ Allah
saya sudah pulang kok! Saya ke sekolah dulu,” kata Mia sambil mencium tangan Bi
Nung. “Mbok ya sing ati-ati, perasaan Bibi kok ya ndak enak…,” ujar Bibi
gemetar.
Di sekolah, anak-anak Rohis juga teman-teman yang lain menyambutnya dengan
gembira. Kangen, kata mereka. Padahal setahu Mia, dia Cuma tak masuk tiga
hari. Mia juga sempat melihat Dika. Dika nunduk dan diam saja waktu ketemu. Jam
setengah satu siang, bel sekolah berbunyi. Mia baru saja membereskan peralatan
sekolahnya ketika tiba-tiba dilihatnya… Papa sudah berkacak pinggang dalam
kelasnya! “Pulang!” “Pa…pa…” “Mama menunggu di mobil! Cepat!” seru Papa.
Anak-anak ramai memandang. Dengan tenaga yang kuat, Papa menarik tangan Mia.
Beberapa peralatan sekolahnya jatuh berceceran. Tapi Papa tak peduli,terus
menariknya… “Pa…pa!” “Anak durhaka! Bikin malu orang tua! Durhaka!” “Pa…,”
tangis Mia. Mia merasa satu sekolah menatapnya! “Buka hijab kamu!
Buka! Orang-orang harus tahu kamu punya rambut bagus! Nanti mereka kira kamu
botak! Buka! Tangan Papa menarik Hijab Mia. Mia berontak! “Jjjjangan
Pa…, jangan! Jangaaaaaa!! Astaghfirullah!!” Tapi Papa sudah tak peduli!
Di-cengkeramnya Hijab Mia. Hijab itu kemudian terlepas dari
kepala Mia! Dagu dan sebagian lehernya berdarah lagi terkena tusukan peniti!
Papa terus menyeretnya melewati koridor sekolah…
“Sabar, Pak! Sabar!” seru Pak Jayid dan wakil kepala sekolah. “Mia anak baik,
kebanggaan kami, jangan diperlakukan seperti itu!” “Saudara jangan ikut campur!
Ini urusan keluarga!” kata Papa kasar. “Ayo pulang, Mia! Pulang!” “Om…, suara
Andika. “Sabar Om!” Mia menangis. Oh, kini semua melihatnya tanpa hijab…
juga Dika! Tiba-tiba ia merasakan nyeri merejam hatinya! Astaghfirullah…! “Mau
apa kamu, Dika!” “Jangan perlakukan Mia seperti itu!” Dika melempar taplak meja
yang sedari tadi dipegangnya pada Mia. Mia buru-buru menutup bagian kepalanya
dengan taplak tersebut. “Kalian semua sama saja!”kata Papa. Mia yang tiba-tiba
lepas dari cengkeram-an Papa, segera berlari melewati pintu gerbang sekolah.
Taplak meja itu masih membungkus kepalanya! Masih didengar-nya suara Via, Linda
dan para hijaber lain yang menyuruhnya bersabar dan istiqomah.
hatinya pedih… Mama berhasil mengejar Mia, dan dengan paksa memasukkannya ke
mobil. Sepanjang perjalanan pulang Mama mencubitnya dan Papa tak henti
memarahi-nya. “Ketahuan sekali lagi kamu pakai hijab ke sekolah. Mama
akan datang ke sekolah kamu tanpa busana!” kata Mama. Mia tersentak! “Dan
berhenti saja jadi anak tunggal Papa, kalau hanya untuk memalukan Papa. Papa tak
keberatan untuk memungut anak dan mulai dari awal lagi!” kata Papa. Hati Mia
terhempas-hempas! Sampai di rumah, semua baju panjang dan hijab kembali
dibakar Mama dan Papa tanpa ada yang luput. “Ini kerana kami sayang sama kamu,”
kata Papa akhirnya sambil mencium pipi Mia. “Apalagi kamu satu-satunya putri
kami,” kata Mama sambil membelai rambutnya. Mia Cuma diam. beku.
Hanya Allah yang tahu betapa Mia sangat sayang Mama dan Papa…, tapi… apakah
untuk membuktikan kecintaannya, ia harus menanggalkan muslimahnya dan kembali
seperti dulu? Ya Allah…,berat benar cobaan-Mu ini…? Rintih Mia. Usai shalat
malam, Mia membungkus tiga buku dengan rapi. Buku kisah Mush’ab bin Umair,
Mu’adz bin Jabal dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Kisah tiga tokoh sahabat Rasulullah
saw yang beriman dan berislam mendapat berbagai halangan dan aniaya dari
orangtua mereka. Mia ingin Mama dan Papa membacanya, agar mereka menyadari
bahwa ni’mat beriman dan berislam tak dapat ditukar dengan apapun… Bahkan
dengan dunia dan se-isinya. Mia juga membuat surat untuk Mama dan
Papa. Menyatakan bahwa Mia sangat mencintai mereka, tetapi seperti kata Allah
dalam surat At-Taubah ayat 24, seperti juga yang disampaikan pak Jayid, bahwa
Allah adalah cinta atas segala cinta. Ia ingin menurut pada orangtua sebatas
tidak membawa maksiat. Sebatas tak meng-halangi ber-hijab (An-Nur 31 dan
Al-Ahzab 59). Dan ia sadar bahwa cinta itu perlu pengorbanan. Begitulah
hidup. Berulang kali pula Mia menegaskan bahwa ia sangat cinta pada Papa dan
Mama… tetapi kecintaan kepada Allah itu sudah selayaknya jauh lebih besar dan
tak terhingga. Dan ia berharap suatu ketika Mama dan Papa sadar dan bisa
menerima dia apa adanya.
Sehabis shalat subuh, Mia sibuk mengemasi beberapa potong pakaian dan bekal
alakadarnya. Ia akan pergi untuk sementara. Entahlah kemana. Mungkin ke rumah
Via atau Linda atau ke pak Jayid dan istrinya atau ke rumah Oma. Uang tak seberapa,
tapi untuk sebulan in syaa’ Allah sukup. Ia tak mau merepotkan banyak
orang. Udara pagi dingin dan basah. Mia membuka jendela kamarnya lebar-lebar.
Ia kenakan sweater, celana panjang dan rok sekolah serta kaos kaki dan mukena
panjang. Dia tak peduli seperti apa penampilannya kini. Ia harus pergi. Ya, ia
harus pergi lewat jendela. Kunci pintu rumah kini hanya ada pada Mama dan Papa.
Sesaat Mia merenung di depan jendela kamar yang terbuka lebar. Haruskah ia
pergi? Ia harus tetap ber-hijab! Bisakah ber-hijab dan tetap berada di
rumah ini? Rasa-rasanya tak. Ia harus pergi… ya, walau sementara! Membawa
piranti hatinya yang kini retak!
“ Ma, Pa sayang, "Mia pergi sementara, Mia akan pulang setelah
hati Ma dan Pa terbuka bagi Mia dan Hijab Mia… Maafkan Mia, yaaa,
Wahai ayah aku hanya ingin menegakkan sebagian iman ku dijalan Allah , Wahai
ibu aku hanya berusaha menjadi seorang manusia yang lebih baik dihadapan Allahu
Rabbii.. Dalam Doa ku Selalu terpanjat untuk kalian sebagaimana kalian telah
menyayangi ku sejak kecil hingga aku dewasa. Allahu Rabbii lindungilah mereka
dan bukakan lah mata hati mereka.Hanya sebuah doa yang dapat aku panjatkan. Yaa
Allah Yaa Rahman Yaa Rahim... Ampunilah dosa dosa kedua orangtua ku tiada
berharap hanya dariMu.
Ya Allah…, ampunilah kami agar kami dan semua orang Islam selalu lapang
dalam menerima apa yang KAU tetapkan atau minimal tidak meng-halangi mereka
yang ingin melaksana-kan ketetapan-Mu. Aamin." "Peluk cium."
"Ananda Mia Prasanti."
Hati Mia teriris sendiri. Dingin udara pagi seolah jadi tak berarti. Tapi
Mia tau ia tak sendiri. Astaghfirullah…, bismillah…, diteruskannya langkahnya
di tengah gerimis pagi. Tabahkan hatiku,
Introspeksi diri !! Apa kamu ambil dari kisah ini? Apa Menjadi
pilihan kamu dari kisah ini? Dan apa yang membuat kamu merasa yakin terhadap
dipilih jika itu benar dari sebuah kisah ini?
Semoga Pengingat Pribadi ini bermanfaat Untuk Semua Insyaa’ Allah Aamiin. Kerana
tiada sedikit pun kesempurnaan hati. Maaf tiada sedikit pun ingin menggurui
atau mengajarkan melainkan hanya ingin berbagi ilmu...
Semoga Bermamfaat
Cerpen Islami ini dikirimkan oleh : Dinda Zahratun Nissa
vian-atzu.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar